Teks Ayat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِي
Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan [al-Fatihah: 5]Faidah Ayat
[Iyyaka Na’budu]=> Imam ath-Thabariy membawakan tafsiir ibnu ‘Abbas (dengan sanadnya) bahwa ia berkata: قال جبريلُ لمحمد صلى الله عليه وسلم: قل يا محمد: ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ )، إياكَ نُوحِّد ونخاف ونرجو يا ربَّنا لا غيرك [[Berkata Jibriil kepada Muhammad: “Katakan wahai Muhammad: Iyyaaka Na’budu”; (berkata ibnu ‘Abbas: yaitu) hanya kepadaMu wahai Tuhan kami kami bertauhid, takut dan berharap; bukan kepada selainMu]] [Tafsiir ath-Thabariy]
=> Imam ath-Thabariy berkata (maknanya) : “Ya Allah, hanya kepadaMu kami khusyu’/patuh, merendahkan diri, dan tunduk. Ini adalah ikrar kepada-Mu, wahai Tuhan kami, atas ke-ketuhanan-Mu, yang sama sekali tidak (berhak dimiliki) selain-Mu. [Tafsiir ath-Thabariy]
=> Imam ibnu Katsiir berkata: ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya “mudah dan taat”; dikatakan tariqun mu’abbadun artinya “jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)” dan ba’irun mu’abbadun artinya “unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)”. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu “suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut” [Tafsiir ibnu Katsiir]
=> Imam al-Qurthubiy berkata: “Pengucapan mukallaf [muslim yang dikenai kewajiban] terhadap kalimat ini merupakan pengakuan (dari dirinya) akan kepemilikan dan perwujudan ibadah terhadap Allah. Sebab seluruh manusia lainya, mereka menyembah pada selain Allah: baik itu berupa berhala maupun yang lainnya” [Tafsiir al-Qurthubiy]
[Iyyaka Nasta’iin]
=> Imam ath-Thabariy membawakan tafsiir ibnu ‘Abbas tentang ayat ini (dengan sanadnya) : إياك نستَعِينُ على طاعتك وعلى أمورنا كلها [[Hanya kepadaMu kami memohon pertolongan dalam menaatiMu dan (hanya kepadaMu kami memohon pertolongan) dalam segala urusan kami]] [Tafsiir ath-Thabariy]
=> Imam ath-Thabariy berkata: “Hanya kepadaMu, wahai Tuhan kami, kami memohon pertolongan untuk menyembahMu, mentaatiMu dalam segala urusan, bukan kepada selainMu. Karena orang yang kufur kepadaMu meminta pertolongan pada sesembahannya, sedangkan kami hanya memohon pertolongan kepadaMu dalam segala urusan kami dengan memurnikan ibadah kami kepadaMu” [Tafsiir ath-Thabariy]
[Keutamaan orang yang membaca ayat ini dalam shalatnya]
=> Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda, bahwa Allah berfirman: وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ [[Dan jika seorang hamba berucap dalam shalatnya: ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’ maka Allah berfirman: Ini antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaKu apa yang ia minta. (HR. Muslim)]]. Hal ini menandakan, bahwa Allah langsung mengijabahi doa hambaNya yang meminta pertolongan padaNya. Maka hendaknya hati kita selalu kita sandarkan padaNya, gantungkan padaNya, berharap hanya padaNya, kemudian meminta hanya padaNya; maka pasti pertolonganNya akan kita temui.
[Hikmah-hikmah dan renungan dibalik ayat ini]
=> Hikmah didahulukannya obyek (iyyaka) daripada fa’il (pekerja) dan fi’il (perbuatan)
Dalam ayat ini, Allah mendahulukan iyyaka (hanya kepada-Mu) yang dalam tata bahasa ia adalah maf’ul atau objek yang didahulukan sebelum fi’il (‘ibadah) dan fa’il (nahnu) atau sebelum kata kerja dan pelakunya. Al-Qurthubiy menyatakan hikmahnya adalah untuk meninggikan obyeknya, daripada pelaku maupun perbuatan; yaitu pendahuluhan Dzat yang diibadahi, diatas hamba dan ibadah. [Tafsiir al-Qurthubiy]
=> Hikmah penggunaan redaksi plural, bukan redaksi tunggal
Yaitu Allah menyebutkan redaksi plural (na’budu-nasta’in), bukan dengan redaksi tunggal (a’budu/asta’inu). Hikmahnya: (1) menunjukkan ketiggian serta kemuliaan Allah diatas seluruh makhlukNya, Allah yang Esa itu wajib disembah oleh seluruh makhlukNya, sementara Dia Maha Terpuji tidak butuh dengan ibadah hamba-hambaNya; dan Dia dimintai pertolongannya seluruh makhlukMu, yang jika dia kabulkan doa seluruh makhlukNya tersebut, maka tidak akan berkurang apapun yang ada disisiNya; (2) menunjukkan pengikraran dari kaum muslimiin secara kolektif: ‘inilah kami, yang hanya beribadah kepadaMu; dan yang hanya meminta pertolongan padaMu’, (3) menunjukkan pengutaraan secara halus dihadapan Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Dalam konteks formal saja, penggunaan redaksi ‘kami’ dinilai lebih sopan, daripada ‘saya’.
=> Hikmah penggunaan redaksi fi’il mudhari’ (NA’budu, dan NAsta’in)
Frase na’budu juga mengandung makna spesifik yang berbeda dari kosakata lainnya yang seakar dengannya seperti ‘abadna (عبدنا) yang merupakan kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Ungkapan ini berkonotasi “kami sudah menyembahMu”. Perbedaan tersebut dikarenakan bedanya dua bentuk kosakata itu. Yang satu menginformasikan peristiwa yang terjadi di masa lampau (madhi) dan yang lain menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di masa sekarang dan akan datang (fi’il mudhari’). Hikmah yang diambil darinya bahwa hendaknya kita semenjak SEKARANG hingga SAMPAI WAFAT hanya menyembah kepadaNya, dan hanya meminta pertolongan padaNya. Seandainya yang digunakan adalah kata kerja masa lampau (‘abadna>), maka ungkapan untuk menginformasikan bahwa pengabdian yang dilakukan tersebut sudah berlalu; boleh jadi sekarang tidak mengabdi lagi [Kutipan]
=> Hikmah pengulangan Iyyaka
Dalam ayat ini, Allah mengulangi iyyaka dua kali, yakni iyyaka na’budu dan iyyaka nasta’in, dikatakan al-Qurthubiy, hal ini agar tidak dipahami: “hanya padaMu kami menyembah; tapi kami memohon pertolongan pada selainMu”. [Tafsiir al-Qurthubiy] Diantara hikmah lainnya adalah sebagai ‘lil ihtimam wal hasri’ yakni untuk menunjukkan makna penting dan pembatasan. Begitu pentingnya apa yang difirmankan-Nya, maka “hanya kepada-Mu” diulang 2 kali, bahwa beribadah dan berserah diri-meminta tolong kepada Allah adalah suatu hal yang paling ditekankan untuk manusia. Dalam beribadah dan dalam meminta pertolongan, Allah memberlakukan pembatasan, yakni “hanya kepada Engkau, ya Allah”, bukan kepada yang lain-Nya. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau, dan kami tidak memohon pertolongan, tidak bertawakal, tidak memasrahkan diri kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. [Kutipan]
=> Hikmah ‘ibadah didahulukan sebelum isti’anah
Diantara hikmah ‘Ibadah (penyembahan) didahulukan diatas Isti’anah (meminta pertolongan); (1) karena Ibadah adalah perbuatan yang paling mulia dari semua perbuatan; dan isti’anah sudah merupakan bagian dari ibadah; (2) karena penyebutan tujuan (ghayah) penting didahulukan sebelum sarana (wasilah). Karena ibadah adalah tujuan pokok dari penciptaan hamba, dan isti’anah adalah sarana yang mengantarkan menuju tujuan tersebut. (3) disebutkannya isti’nah setelah ibadah juga bermakna bahwa isti’anah yang merupakan diantara bentuk ibadah yang paling mulia diantara ibadah-ibadah lainnya; (4) didahulukan ‘ibadah diatas isti’anah dikarenakan hak Allah [ibadah] lebih didahulukan daripada hak hamba [meminta pertolonganNya]
=> Siapa yang meninggalkan peribadatan pada Allah, maka pasti akan beribadah pada selainNya; dan siapa yang meninggalkan permintaan pertolongan padaNya, maka pasti akan meminta pertolongan pada selainNya
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul).
Maka demikian pula, seorang yang sombong, yang tidak meminta pertolongan pada Allah dalam segala perkaranya; maka sejatinya dia merasa cukup dengan dirinya, serta menganggap bahwa dirinya tidak butuh pertolongan. Padahal dirinya itu amat lemah; dan sejatinya, yang memberinya kekuatan itu adalah Allah. Maka seorang yang tidak meminta pertolongsn padaNya telah kufur (tidak bersyukur) pada Dzat yang memberinya pertolongan, ditambah lagi dengan kufur (sombong) tidak mengakui serta tidak merasa butuh pertolongan dariNya. Diantara efek buruknya: Ketika dia mendapatkan kebaikan, maka dia ujub lagi sombong; menyangka hanya karena usahanya sendirilah ini berhasil. Dan ketika ia mendapat kesulitan dari usahanya tersebut, maka ia lekas berputus-asa; karena dia tidak memiliki sandaran yang kuat. Maka seorang yang kuat, adalah seorang yang bergantung, menyandarkan dirinya, berharap, serta meminta pertolongan pada Dzat Yang Maha Kuat.
=> Siapa yang mengucapkan ini, maka ia telah berlepas diri dari KESYIRIKAN dan KEKUFURAN.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in‘. Bagian pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim)
Ketika ia berucap: “Iyyaka Na’budu…”; maka ia berlepas diri dari segala kesyirikan; baik syirik akbar maupun ashghar. Dia memproklamirkan bahwa hanya kepada Allah saja dia beribadah; bukan kepada selainNya (maka ia berlepas diri dari syirik akbar). Dengan ucapan ini pula dia memproklamirkan bahwa hanya kepada Allah saja, dia meniatkan ibadahnya; bukan pada selainNya (maka dia berlepas diri dari syirik ashghar).
Ketika ia berucap: “Iyyaka Nasta’iin”, maka ia berlepas diri dari segala kekufuran, baik kufur akbar maupun ashghar. Dia memproklamirkan bahwa dia hanya meminta pertolongan pada Allah; berbeda dengan orang-orang kaafir yang menihilkan pertolonganNya dalam segala perkara, sehingga mereka merasa cukup dengan diri-diri mereka, tidak merasa butuh padaNya, dan tidak meminta pertolongan padaNya (sehingga dengan ini ia berlepas diri dari kufur akbar). Dengan ucapan ini pula, ia berlepas diri dari ujub dalam ibadah; dengan ia meminta pertolongan padaNya, menandakan bahwa dia menyadari ibadahnya tidak akan terwujud, kecuali dengan pertolonganNya sehingga ia meminta padaNya (sehingga dengan inipun dia berlepas diri dari kufur ashghar).
=> Kita dikatakan, hamba ‘sesuatu’; karena kita menghambakan diri pada ‘sesuatu tersebut’. Maka muliakanlah diri kita dengan menghambakan diri kita kepada Allah. Maka jadilah hamba Allah yang sejati!
Apabila seseorang malah menuruti segala kemauan hawa nafsunya; apa yang diperintahkan hawa nafsunya ia segera taati dan apa yang dilarang hawa nafsunya ia segera jauhi; tanpa peduli lagi dengan aturan Tuhannya, maka ini pertanda keberpalingannya dari penghambaannya terhadap Allah, kepada penghambaannya terhadap dirinya sendiri. Apabila sampai ia menuruti kemauan hawa nafsunya untuk berbuat kufur, sehingga ia pun berbuat kufur, maka disitulah ia menjadi penyembah hawa nafsu yang hakiki.
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibadah mencakup melakukan segala hal yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala hal yang dilarang Allah. Sebab jika seseorang tidak memiliki sifat seperti itu berarti dia bukanlah seorang ‘abid/hamba [Allah yang sejati]. Seandainya seorang tidak melakukan apa yang diperintahkan, orang itu bukan hamba [Allah] yang sejati. Seandainya seorang tidak meninggalkan apa yang dilarang, orang itu bukan hamba [Allah] yang sejati. Seorang hamba [Allah] -yang sejati- adalah yang menyesuaikan dirinya dengan apa yang dikehendaki Allah secara syar’i; [yakni: Dia mentaati apa yang diperintahkanNya, menjauhi segala yang dilarangNya, serta menerima dengan sepenuh hati atas segala ketetapan taqdir yang telah ditetapkanNya untuknya]” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim beliau)
=> Kunci istiqamah: hati yang selalu bergantung padaNya, merasa butuh padaNya, selalu menyandarkan kebaikan padaNya serta selalu mengharapkan kebaikan dariNya
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ [[“Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123)]]. Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (QS. Hud: 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Karena apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya sendiri maka itu artinya dia diserahkan kepada kelemahan dan ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup beribadah dengan baik.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])
Maka renungkanlah hikmah-hikmah dan makna yang amat agung dibalik ayat ini, dan bacalah ayat ini dengna menghadirkan segala perenungan ini. Siapa yang mengucap ini dengan perenungan, kemudian mengaplikasikannya; maka ia akan benar-benar mentauhidkan Allah, memurnikan ibadah serta niat hanya untukNya semata; serta hanya bergantung, menyandarkan diri, serta berharap padaNya. Semoga kita digolongkan Allah menjadi termasuk hambaNya yang benar-benar mengaplikasikan ayat ini, dan diwafatkan dalam kondisi tersebut; aamiin.

Post a Comment